Jumat, 23 Agustus 2019

Hari ini, 3 Guru LPI-BUDI tungkop Menikah..Ustadz Ku Imam Ku.

Haba Dayah Lam Nangroe.,- 3 Guru LPI-BUDI Tungkop indrajaya kab: pidie ,,,Tgk Muliadi gapui, Tgk khairul Bambi, Tgk Syahril Tp.Raya, hari ini mengakhiri masa lajangnya, mengingat situasi dan keadaan dunia selama ini yg kian tak menentu, maka sudah sepatutnya berpacaran setelah menikah..


Pondok Pesantren (Dayah) LPI-BUDI Tungkop Indrajaya, Kabupaten pidie, hari ini jum'at 23 agustus Melepaskan 3 orang dewan guru untuk melaksanakan pernikahan.


 Ada yang unik dalam pernikahan kali ini, yaitu ketiga pasangan merupakan para staf pengajar dan santriwati di Pondok Pesantren Tersebut, yang didirikan TGK H.ISMAIL ABDULLAH (Ayah Caleu)
"Yang pasti tidak ada paksaan, mereka menikah sesuai dengan keinginan mereka memilih pasangan dengan proses Ta'aruf,"


Tercatat jumlah santri di Pondok Pesantren tersebut saat ini mencapai Ribuan orang santri. Mereka terdiri dari santri perempuan dan laki-laki , santri di pondok pesantren ini berasal dari Provinsi Aceh Saja.
Share:

Jumat, 16 Agustus 2019

Libur idul Adha Usai, Santri LPI BUDI Tungkop Balik ke Dayah

PIDIE ACEH –Libur lebaran telah Usai. Aktifitas sehari-hari kembali normal. Kantor-kantor sudamulai buka, sekolah-sekolah sudah mulai aktif, arus balik sudah mulai memadati jalanan, begitu juga dengan pesantren-pesantren atau Dayah-Dayah diAceh yang sudah dipenuhi kembali oleh santri-santrinya untuk memulai kegiatan belajar-mengajar. Tidak terkecuali Dayah LPI-BUDI TUNGKOP Indrajaya kab.PIDIE Aceh. (16/08/2019).

Halaman pondok Dayah LPI-BUDI Tungkop dipadati oleh puluhan mobil dan ratusan motor sejak pagi hingga sore ini. Bukan karena ada sebuah acara khusus, melainkan hari ini adalah hari puncak kedatangan para santri setelah sekitar 10 hari menikmati liburan lebaran idul Adha dikampung halaman masing-masing. Libur lebaran idul Adha dimulai sejak tanggal 06 Agustus dan berakhir pada hari ini, Jum'at 16 Agustus 2019. Diperkirakan puncak kedatangan pada Sore hari ini,karena besok sudah dimulai aktif Kembali Untuk Mengikuti ujian.



Share:

Kamis, 11 April 2019

pengertian hadist qudsi

Hukumislamkaji- Hadits Qudsi salah satu jenis hadits di mana perkataan Nabi Muhammad disandarkan kepada Allah atau dengan kata lain Nabi Muhammad meriwayatkan perkataan Allah.


Nabi menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah firman Tuhan yang harus disampaikan, sebagai tugas kerasulan beliau. Selanjutnya, para sahabat berbondong-bondong mulai menghafal Al-Qur’an, serta sebagian menulisnya di berbagai medium sesuai dengan teknologi yang ada di masyarakat Arab waktu itu. Selanjutnya, Al-Qur’an ini juga mulai disusun pada masa-masa Khulafaur Rasyidin pascawafatnya beliau, dan usai pada masa Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu ‘anhu.

Karena sebab inilah, Al-Qur’an menjadi terjaga, baik karena adanya hafalan para sahabat maupun tulisan-tulisan mushaf yang berhasil disusun. Dan Tuhan pun telah menjamin keterjagaan Al-Qur’an inidalam Surat Al Hijr ayat 9:

إِنَّانَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya kamilah yang menurunkan adz Dzikr, dan Kami-lah yang menjaganya.”

Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tafsir ath-Thabari menyebutkan bahwa yang dimaksud adz-dzikr dalam ayat tersebut adalah Al-Qur’an, dan Allah menjaganya dari penambahan, pengurangan, baik dari isinya maupun dari segi batasan hukum serta kewajiban-kewajiban yang terkait dengannya.

Di sisi lain, selain mengucapkan Al-Qur’an, laku dan ucap Nabi juga ditulis oleh para sahabat. Karena kemuliaan dan keutamaan beliau, tentu mencatat teladan dari beliau juga mulia. Namun Nabi melarang untuk menulis apa pun dari beliau, kecuali Al-Qur’an. Ternyata, berlalu zaman, muncul urgensi untuk mengumpulkan perkataan, tindakan, maupun persetujuan (taqrîr) Nabi ini yang saat ini kita kenal sebagai hadits.

Seiring masa kodifikasi, pengumpulan hadits pada sekitar abad kedua Hijriah, diketahui bahwa Nabi pun selain menyebutkan ayat Al-Qur’an, juga menyatakan beberapa hal yang disandarkan pada Allah. Dalam ilmu hadits, hadits-hadits yang dituturkan Nabi dan disandarkan pada Allah ini disebut hadits Qudsi


Share:

Hukum memotong rambut bagi wanita

Kajian Hukum Islam- Hukum asal potong rambut bagi wanita adalah boleh…. Batasan potong rambut bagi wanita adalah selama tidak melanggar dua hal: (1). menyerupai lelaki dan (2). menyerupai orang kafir. Adapun selain itu maka hukumnya boleh.



Potongan yang menyerupai potongan laki-laki maka hukumnya haram dan dosa besar, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kaum wanita yang menyerupai kaum pria. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, bahwa beliau mengatakan:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum lelaki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai lelaki.” (H.r. Bukhari)

Menghabiskan rambut (dalam bahasa arab : halqu) Makruh bahkan Haram hukumnya kecuali :
  • Sakit sehingga mengharuskan dipotong agar sembuh (maka tidak makruh).
  • Dilarang suami (maka haram).
  • Anak balita menurut imam isnawi (maka tidak makruh)..
  • Anak perempuan yang berumur 7 hari yang mana ingin bersedekah wali nya seberat timbangan rambut anak tersebut (maka sunnah hukumnya).
Menurut Imam Ibnu hajar bahwa mencukur gundul rambut bagi wanita adalah haram apabila tidak dalam darurat, sedangkan  memendekkan agar rapi maka boleh.

تنبيه : كما يحرم على المرأة الزيادة في شعر رأسها يحرم عليها حلق شعر رأسها بغير ضرورة ، وقد أخرج الطبري من طريق أم عثمان بنت سفيان عن ابن عباس قال : " نهى النبي - صلى الله عليه وسلم - أن تحلق المرأة رأسها " وهو عند أبي داود من هذا الوجه بلفظ ليس على النساء حلق ، إنما على النساء التقصير والله أعلم(فتح الباري. ص:٣٨٨(١)) 

Rambut selain rambut kepala bagi wanita, seperti mencukur rambut wajah (bulu wajah), atau alis hukumnya haram jika tanpa idzin suami.

Potongan yang menyerupai potongan khas wanita kafir, maka hukumnya juga haram, karena tidak boleh menyerupai orang-orang kafir. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Siapa yang meniru-niru (kebiasaan) suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut” (H.r. Abu Daud, dan dishahihkan al-Albani).
Share:

Selasa, 26 Maret 2019

Bagaimanakah Hukum Tahlilan Setelah Hari Kematian..???


Salah satu hal yang lazim di kerjakan oleh umat Islam Ahlus sunnah di Indonesia adalah melakukan tahlilan dalam beberapa hari setelah kematian dan juga di sertai dengan menyediakan makanan sebagai shadaqah. Namun belakangan ini muncul kalangan yang dengan cepat dan mudahnya memvonis amalan kaum muslimin tersebut sebagai amalan bid`ah dan sesat dengan membawakan argument-argument yang sering kali mempengaruhi kalangan awam. Atas dasar itu, maka kami mencoba menerangkan sedikit landasan hukum tahlilan yang telah di amalkan oleh para ulama semenjak dahulu.

Tahlilan adalah berasal dari kata tahlil yang artinya membaca laailaha illaha. Tahlilan dalam uruf nusantara di maksudkan kepada pembacaan kalimat laailaha illah, shalawat kepada Nabi SAW, dan beberapa surat pendek terutama surat al-ikhash yang kemudian di akhiri dengan doa hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal. Di namakan tahlilan karena pembacaan laailaha illallah yang dominan. Selain juga di namakan dengan shamadiyahkarena pembacaan surat al-ikhlash yang juga dominan. Umumnya setelah hari kematian di lakukan tahlilan sampai 7 hari secara beramai-ramai menurut adat di daerah masing-masing. Kadang kala setelah acara tahlilan tuan rumah menyediakan makanan ala kadar menurut kemampuan dan adat daerah masing-masing.

Nah, bagaimanakah hukum tahlilan setelah hari kematian?



Tujuan dari pelaksanaan tahlilan adalah menghadiahkan pahala bacaan bagi mayat. Menghadiahkan pahala al-quran bagi mayat merupakan salah satu hal yang memiliki landasan yang kuat dalam agama.

Menurut Imam al-Syafi’i dalam satu ‘ibarat, pahala bacaan al-Qur`an tidak bermanfaat bagi si mayat. Sementara pada ‘ibarat yang lain, Imam al-Syafi’i berfatwa bahwa disunatkan bagi peziarah kubur untuk membaca al-Qur`an. Rangkaian fatwa ini disepakati sendiri oleh para ashab Imam al-Syafii sebagaimana penejelasan Imam Nawawi dalam kitabnya, Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz. V, hal. 311, cet. Dar al-Fikr :

Murid senior Imam al-Syafi’i, al-Za`farany (w. 260 H) berkata :

سألت الشافعى رحمه الله عن قراءة عند القبر فقال لا بأس به

"Saya pernah bertanya kepada Imam al-Syafi’i tentang membaca (al-Qur`an) di samping kubur. Beliau menjawab “tidak mengapa". (Syarh al-Shudur, Imam al-Sayuthi, hal. 311, cet. Dar al-Madani, 1985).

Nah, kedua pendapat Imam al-Syafi’i tersebut harus diperhatikan dengan baik untuk menghindari menyalahkan salah satu pendapat. Karenanya, para ulama memahami perkataan Imam al-Syafi’i yang mengatakan bahwa qiraah tidak bermanfaat bagi mayat hanyalah bila al-Qur`an dibacakan bukan di hadapan mayat atau tidak diiringi oleh doa setelahnya karena bila al-Quran dibacakan di hadapan mayat, Imam al-Syafi’i berpendapat hukumnya sunat sebagaimana penjelasan Imam al-Nawawi sebelumnya. Sedangkan bila qiraah yang diiringi doa setelahnya, para ulama telah ijma’ bahwa doa tersebut bermanfaat bagi si mayat.

Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsir surat an-Najmu ayat 39 :

فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما ومنصوص من الشارع عليهما

Maka adapun masalah doa dan shadaqah maka hal itu ijmak ulama sampai pahalanya dan keduanya telah dinashkan (diterangkan) dari syara`. (lihat Tafsir Ibnu Katsir jilid 4 hal 268 cet. Dar Fikr thn 1997)

Bahkan dengan adanya pembacaan al-Qur`an sebelum berdoa akan menjadikan doa tersebut semakin besar kemungkinan untuk diterima.

Sedangkan Imam mujtahid lainnya (Imam al-Hanafi, al-Maliki dan al-Hanbali) berpendapat bahwa pahala bacaan al-Qur`an sampai pahalanya dan bermanfaat kepada si mayat. Pendapat ini diikuti pula oleh ulama madzhab al-Syafi’i seperti Imam al-Subki. (lihat Hasyiyah I`anat al-Thalibin, Juz. III, hal. 221, cet. al-Haramain).

Dari uraian tersebut dapatlah dipahami bahwa hukum melakukan tahlilan adalah :

Apabila dibacakan di hadapan mayat atau diiringi dengan doa setelahnya, maka para ulama termasuk Imam al-Syafi’i dan Imam madzhab lain sepakat bahwa pahalanya bisa sampai kepada si mayat.

Apabila bukan di hadapan mayat atau tidak diiringi dengan doa setelahnya, maka menurut Imam al-Syafi’i tidak sampai pahalanya. Sementara menurut tiga Imam madzhab lainnya bahkan juga sebagian besar ulama Madzhab al-Syafii adalah pahalanya sampai kepada si mayat.

Yang di amalkan oleh masyarakat kita saat ini umumnya adanya doa setelah membaca tahlil dan ayat al-quran, sehingga amalan pembacaan tahlilan setelah hari kematian yang di amalkan oleh masyarakat kita umumnya merupakan amalan yang bermanfaat bagi mayat sesuai dengan ijmak para ulama. Sesuai juga dengan pendapat Imam Syafii sendiri yang telah kami uraikan sebelumnya. Lihat juga penjelasan ulama zaman ini, syeikh Wahbah Zuhaily dan Syeikh Ali Jum'ah.

Share:

Kamis, 21 Maret 2019

Bolehkah Al-Quran Dibakar..???


Al-Qur’an ialah kalam Tuhan yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad. Ia putunjuk utama bagi umat Islam. Seluruh permasalahan apa pun pasti ada rujukannya dalam Al-Qur’an meskipun tidak disebutkan secara spesifik. Imam al-Syafi’i mengatakan, “Tidak ada kasus baru di dunia ini melainkan ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an”.

Sebab itu, Al-Qur’an mesti dihormati keberadaannya. Islam membuat aturan khusus bagaimana cara berinteraksi dengan Al-Qur’an. Ada beberapa adab dan etika yang harus dijaga pada saat memegang dan membaca Al-Qur’an, di antaranya, orang yang menyentuhnya harus dalam keadaan suci. Demikian pula pada saat menemukan lembaran atau sobekan Al-Qur’an, tidak boleh langsung membuangnya karena dikhawatirkan nanti ada yang menginjaknya, baik sengaja ataupun tidak.

Menghilangkan mushaf (Al-Qur’an) dengan cara mencuci huruf-hurufnya atau membakarnya makruh jika masih memungkinkan untuk menjaganya. Namun jika tidak mampu menjaganya karena akan semakin rusak, maka boleh bahkan wajib apabila tidak ada cara lain menjaga kehormatannya kecuali dengan membakar atau mencucinya.

و يكره (إحراق خشب نقش به) أي بالقرآن، نعم إن قصد به صيانة القرآن فلا كراهة وعليه يحمل تحريق عثمان رضي الله عنه المصاحف. وقد قال ابن عبد السلام من وجد ورقة  فيها البسملة ونحوها لايجعلها في شق ولا غيره لأنه قد تسقط فتوطأ وطريقه أن يغسلها بالماء أو يحرقها بالنار صيانة لاسم الله تعال عن تعرضه للامتهان 

“Dimakruhkan membakar kayu yang terdapat ukiran Al-Qur’an di permukaannya. Akan tetapi, tidak dimakruhkan (membakar) bila tujuannya untuk menjaga Al-Qur’an. Atas dasar itu, pembakaran mushaf-mushaf yang dilakukan Utsman bin Affan dapat dipahami. Ibn Abdil Salam mengatakan, orang yang menemukan kertas bertulis basmalah dan lafal agung lainnya, janganlah langsung merobeknya hingga tercerai-berai karena khawatir diinjak orang. Namun cara yang benar adalah membasuhnya dengan air atau membakarnya dengan tujuan menjaga nama Allah dari penghinaan.”


Sebagian ulama’ berpendapat, mencuci huruf-hurufnya lebih afdhal dari pada membakar dengan syarat tidak jatuh air cuciannya ke tanah. Namun sebagian ulama’ berpendapat membakarnya lebih afdhal daripada mencucinya karena sulit dihindari air cucian itu tidak jatuh ke tanah.

(قوله: وتمزيقه) معطوف على تمكين أيضا.أي ويحرم تمزيق المصحف لانه ازدراء به. وقوله: عبثا أي لا لقصد صيانته. وعبارة فتاوي ابن حجر تفيد أن المعتمد حرمة التمزيق مطلقا، ونصها: سئل رضي الله عنه عمن وجد ورقة ملقاة في طريق فيها اسم الله تعالى، ما الذي يفعل بها ؟ فأجاب رحمه الله بقوله: قال ابن عبد السلام: الاولى غسلها، لان وضعها في الجدار تعرض لسقوطها والاستهانة بها. وقيل: تجعل في حائط. وقيل: يفرق حروفها ويلقيها. ذكره الزركشي. فأما كلام ابن عبد السلام فهو متجه، لكن مقتضى كلامه حرمة جعلها في حائط والذي يتجه خلافه، وأن الغسل أفضل فقط. وأما التمزيق، فقد ذكر الحليمي في منهاجه أنه لا يجوز تمزيق ورقة فيها اسم الله أو اسم رسوله، لما فيه من تفريق الحروف وتفريق الكلمة، وفي ذلك ازدراء بالمكتوب. فالوجه الثالث شاذ إذ لا ينبغي أن يعول عليه.



Share:

Senin, 18 Maret 2019

Adakah Dianjurkan Azan Ketika Manyat Mau Dikubur...???


Azan dan iqamah termasuk syiar umat Islam dan disunnahkan mengumandangkannya ketika masuk waktu shalat. Selain itu, ulama juga menganjurkan mengumandangkan azan beserta iqamah pada saat melakukan perjalanan. Disunnahkan pula mengumandangkan azan dan iqamah saat anak dilahirkan.

Tidak hanya itu, mayoritas masyarakat Indonesia juga membudayakan mengazankan mayat ketika hendak dikubur. Setelah mayat diletakkan di liang lahat, kain kafan dibuka, dan muka mayat ditempelkan ke tanah sembari menghadap kiblat, salah satu dari orang yang menguburkan mengumandangkan azan sebagai bentuk penghormatan terakhir.

Ada yang mengatakan, Adzan dan menguburkan mayat iqamah memang disunnahkan ketika. Ini Kesunnahan (qiyas) disamakan dengan kesunnahan mengazankan anak yang baru lahir. Namun, menyamakan hukum mengazankan tubuh dengan bayi yang baru lahir dianggap lemah dengan ulama lain. Syekh Ibrahim al-Baijuri di Hasyiyah al-Baijuri menjelaskan:

ويسن الأذان والإقامة أيضا خلف المسافر ولا يسن الأذان عند إنزال الميت القبر خلافا لمن قال بسنيته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها قال ابن حجر ورددته في شرح العباب لكن إن وافق إنزاله القبر بأذان خفف عنه في السؤال

“Disunnahkan azan dan iqamah saat melakukan perjalanan dan tidak disunnahkan azan ketika menguburkan mayat. Pendapat ini berbeda dengan ulama yang mensunnahkan azan karena menyamakan hukumnya dengan mengazankan  anak yang baru lahir. Ibnu Hajar berkata, saya menolaknya dalam Syarah al-‘Ubab, akan tetapi jika penguburan mayat disertai azan, maka mayat diringankan dalam menjawab pertanyaan di dalam kubur”


وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ يُسَنُّ الأَذَان عِنْدَ دُخُولِ القَبْرِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ بِنِسْبَتِهِ قِيَاسًا لِخُرُوجِهِ مِنَ الدُنْيَا عَلَى دُخُولِهِ فِيْهَا. قَالَ إبنُ حَجَرٍ: وَرَدَدْتُهُ فِى شَرْحِ العُبَابِ، لَكِنْ إِذَا وَافَقَ إِنْزَالُهُ القَبْرَ أَذَانٌ خَفَّفَ عَنْهُ فِى السُّؤَالِ.

‎Ketahuilah bahwasanya tidak disunnahkan ADZAN ketika memasukkan jenazah ke kubur, berbeda dengan orang yang menishbatkan adzan karena meng-kiyas-kan meninggal dunia dengan lahir ke dunia. Ibn Hajar berpendapat: "Saya menolak pendapat ini dalam kitab Syarah al‘ Ubab, bahkan ketika jenazah diturunkan ke dalam kubur bersamaan dengan dikumandangkannya azan maka jenazah tersebut diringankan dari pertanyaan kubur".

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ulama berbeda pendapat tentang hukum azan dan iqamah ketika menguburkan mayat. Ada yang mengatakan sunnah dan ada yang tidak. Perbedaan ini didasarkan pada perbedaan mereka dalam memahami hadis Nabi. Ulama yang mengatakan tidak sunnah beragumentasi dengan tidak adanya dalil spesifik dan pasti terkait permasalahan ini. Sementara ulama yang membolehkannya menganalogikan kasus ini dengan kesunnahan mengazankan anak yang baru lahir.
Wallahu a’lam.
Share:

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Featured Post

Hari ini, 3 Guru LPI-BUDI tungkop Menikah..Ustadz Ku Imam Ku.

Haba Dayah Lam Nangroe.,- 3 Guru LPI-BUDI Tungkop indrajaya kab: pidie  ,,, Tgk Muliadi gapui , Tgk khairul Bambi , Tgk Syahril Tp.Raya , h...

Unordered List

Pages

Theme Support